percaya diri

Bookmark and Share
Dalam bahasa gaul harian, pede yang kita maksudkan adalah percaya diri. Semua orang sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu ini. Ada orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan, dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum pede dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan praktek hidup, kita bisa mengatakan bahwa yang terakhir itu normal dalam arti dialami oleh semua manusia.

Sebenarnya apa sih yang kita maksudkan dengan istilah pede itu? Kalau melihat ke literatur ilmiahnya, ada beberapa istilah yang terkait dengan persoalan pede ini. Di sini saya hanya ingin menyebutkan empat saja:

* Self-concept: bagaimana Anda menyimpulkan diri anda secara keseluruhan, bagaimana Anda melihat potret diri Anda secara keseluruhan, bagaimana Anda mengkonsepsikan diri anda secara keseluruhan.

* Self-esteem: sejauh mana Anda punya perasaan positif terhadap diri Anda, sejauhmana Anda punya sesuatu yang Anda rasakan bernilai atau berharga dari diri Anda, sejauh mana Anda meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga di dalam diri Anda

* Self efficacy: sejauh mana Anda punya keyakinan atas kapasitas yang Anda miliki untuk bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to succeed). Ini yang disebut dengan general self-efficacy. Atau juga, sejauhmana Anda meyakini kapasitas anda di bidang anda dalam menangani urusan tertentu. Ini yang disebut dengan specific self-efficacy.

* Self-confidence: sejauhmana Anda punya keyakinan terhadap penilaian Anda atas kemampuan Anda dan sejauh mana Anda bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil. Self confidence itu adalah kombinasi dari self esteem dan self-efficacy (James Neill, 2005)

Berdasarkan itu semua, kita juga bisa membuat semacam kesimpulan bahwa kepercayaan-diri itu adalah efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya. Ketika ini dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, orang yang memiliki kepercayaan rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa / bersikap sebagai berikut :

* Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh- sungguh

* Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang)

* Mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan

* Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah

* Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal)

* Canggung dalam menghadapi orang

* Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang meyakinkan

* Sering memiliki harapan yang tidak realistis

* Terlalu perfeksionis

* Terlalu sensitif (perasa)

Sebaliknya, orang yang kepercayaan diri bagus, mereka memiliki perasaan positif terhadap dirinya, punya keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang yang punya kepercayaan diri bagus bukanlah orang yang hanya merasa mampu (tetapi sebetulnya tidak mampu) melainkan adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungannya.

Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal yang paling mendasar dalam praktek hidup kita. Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memperjuangkan keinginannya untuk meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Ini seperti dikatakan Mark Twin: “Apa yang Anda butuhkan untuk berprestasi adalah memiliki komitment yang utuh dan rasa percaya diri. “

Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya. Orang yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya “lebih besar” dari masalahnya. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Ini seperti yang diakui Mohammad Ali. “Satu-satunya yang membuat orang lari dari tantangan adalah lemahnya kepercayaan diri.”

Kesimpulan Bandura (Dr. Albert Bandura, 1994), menjelaskan bahwa self-efficacy yang bagus punya kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumukan tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu mampu mengatasi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya.

Tak hanya Bandura yang kesimpulan semacam itu. Pakar pendidikan juga punya kesimpulan yang bernada sama. Self-efficacy yang bagus akan menjadi penentu keberhasilan seseorang (pelajar) dalam menjalankan tugas. Mereka lebih punya kesiapan mental untuk belajar, lebih punya dorongan yang kuat untuk bekerja giat, lebih tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai level prestasi yang lebih tinggi (Pajares & Schunk, The Development of Achievement Motivation, San Diego: Academic Press, 2002.).

Sisi-sisi Negatif
Secara normal bisa dikatakan bahwa semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Ini misalnya terkait dengan dua hal yang sudah kita bahas di muka. Hanya memang ada satu hal yang perlu kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif ini perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau merusak. Di antara sisi negatif itu adalah:

* Arogansi. Kita merendahkan orang lain (looking down atau humiliate) karena merasa lebih tinggi atau lebih di atas. Arogansi seperti ini ditolak oleh semua tatanan nilai di dunia ini. Sah-sah saja kita merasa lebih dari orang lain tetapi yang paling penting di sini adalah jangan sampai kita memandang rendah orang lain, apalagi menghina baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

* Merasa paling benar sendiri dan tidak bisa menerima kebenaran milik orang lain. Terkadang memang ada alasan untuk merasa benar tetapi yang perlu kita waspadai adalah munculnya perasaan paling benar yang membuat kita menyimpulkan orang lain semua salah. Biarpun kita benar tetapi kalau kita merasa semua orang lain salah, ini bisa membuat kita salah.

* Menolak opini orang lain / tidak bisa mendengarkan pendapat orang lain, saran orang lain, tidak mau mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain atau keras kepala (stubbornness). Opini orang lain memang tidak semuanya perlu kita dengarkan tetapi juga tidak semuanya perlu ditolak. Ada hal-hal positif yang bisa kita ambil dari opini orang lain. Konon, salah satu faktor yang membuat para pengusaha ambruk setelah mengalami kejayaan adalah karena menolak mendengarkan opini orang lain, menolak belajar dari orang lain, bersikap fleksibel terhadap perubahan. Mereka menjadi orang yang tertutup oleh pengalaman kejayaannya selama ini.

* Memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati. Model komunikasi demikian kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang “sincere”, di samping juga lebih banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri, orang lain akan lebih nyaman bila didekati dengan model komunikasi yang empatik, asertif atau persuasif.

* Kurang perhitungan terhadap bahaya potensial atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail. Berani menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan dalam mengatasi masalah atau berpikir “beyond the technique” itu memang positif dan dibutuhkan. Tetapi jika ini membuat kita terbiasa menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu membahayakan.

* Kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Tidak mudah mempercayai omongan orang lain atau tidak mudah mempercayai penjelasan orang lain atas kemampuannya sebelum ada bukti-bukti yang nyata, memang ini dibutuhkan. Ada kalanya kita tidak bisa 100% mempercayai orang lain. Tetapi akan jadi masalah jika kita tidak bisa mempercayai orang lain untuk semua hal, tidak bisa mendelegasikan pada orang lain untuk semua pekerjaan, selalu underestimate, selalu ingin menjadi “polisi” atas orang lain dan semisalnya, ini bisa menyusahkan diri sendiri.

* Punya penilaian-diri yang “over”, mematok imbalan yang terlalu tinggi, menuntut diperlakukan secara terlalu idealis. Sah-sah saja kita punya penilaian diri yang setinggi langit sekali pun, mematok “harga” setinggi-tingginya, namun jika itu malah membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan pemikiran alternatif dan belajar menjadi fleksibel. Jangan sampai kita patah gara-gara kita terlalu keras. Jangan sampai pula kita tidak bisa membedakan antara tahu diri dan tidak tahu diri dalam praktek. Bedanya sangat tipis.

Sisi-sisi negatif yang saya sebutkan di atas mungkin bisa kita sebut dengan istilah “terlalu pede”. Ini juga berbeda dengan pede. Menurut kaidah yang berlaku dalam praktek hidup, sesuatu yang sudah terlalu, itu biasanya jelek dan dipandang jelek.

Membangun Kepercayaan diri
Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:

1. Menciptakan definisi diri positif.

Steve Chandler mengatakan, “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu.” Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:

* Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang merusak atau yang menghancurkan.

* Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki

* Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.

Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya. Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif. Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.

2. Memperjuangkan keinginan yang positif

Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.

3. Mengatasi masalah secara positif

Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.

4. Memiliki dasar keputusan yang positif.

Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru: “Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU”. Artinya, kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

5. Memiliki model / teladan yang positif

Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.

{ 3 comments... Views All / Send Comment! }

Cyntia mengatakan...

Tipsnya keren bangett... saluttt.. ehmm kalo nga punya hobi termasuk orang nga PeDe kah kak ???

dek_bagoes mengatakan...

posting yg bagus,...trus di Kembangkan ya,,..

king mengatakan...

buat cyntia: maksi hehehehe,,,,wah klo ga punya hoby termasuk orang yang ga mungkin mungkin hehehehe sebenernya semua orang punya hobby masing2, sebagai contoh orang yang hoby nya nonton tv kita sering menilai kalau itu bukan hobby, mungkin ini termasuk dalam kategori hobby ga kliatan hahahahahaha,,,,

buat om dek_bagoes: terimakasi om, saya mau beljar bikin artikel yang lebih bagus dari ini,, hehehehe soalnya yang ini dapet copas dari blog orang hahahaha duwh ketauan,,,,

Posting Komentar

dengan senang hati gw mempersilahkan bro berkomentar...